Rabu, 09 Juni 2010

hermeneutika


hermeneutika hukum sebagai metode penemuan hukum

Untuk memahami apa yang dimaksud dengan hermeneutika, perlu menengok kronologi asal-usul kata hermeneutika, supaya tidak terjadi distorsi pemaknaan sejarah hermeneutika. Secara etimologis kata “hermeneutika” itu berasal dari bahasa Yunani kata kerja “Hermeneuein” yang berarti: menafsirkan atau menginterpretasi, kata benda “hermenia’ yang berarti: penafsiran atau interpretasi. Dari kata kerja hermeneuein dapat ditarik tiga bentuk makna dasar dalam pengertian aslinya, yaitu:

(1) mengungkapkan kata-kata, misalnya “to say”;

(2) menjelaskan, seperti menjelaskan sebuah situasi;

(3) menerjemahkan, seperti didalam transliterasi bahasa asing. Ketiga makna itu bisa diwakilkan dengan bentuk kata kerja inggris “to interpret”, namun masing-masing dari ketiga makna tersebut membentuk sebuah makna yang independen dan signifikan bagi interpretasi.

Pada mitologi Yunani kuno, kata hermeneutika merupakan derivasi dari kata Hermes, yaitu seorang dewa yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan pesan (message) dari Sang Dewa kepada manusia. Menurut versi mitos lain, Hermes adalah seorang utusan yang memiliki tugas menafsirkan kehendak dewata dengan bantuan kata-kata manusia. Pengertian dari mitologi ini kerapkali dapat menjelaskan pengertian hermeneutika teks-teks kitab suci, yaitu menafsirkan kehendak tuhan sebagaimana terkandung di dalam ayat-ayat kitab suci. Secara teologis peran Hermes tersebut dapat dinisbahkan sebagaimana peran Nabi, bahkan Sayyed Hossein Nashr menyatakan bahwa Hermes tersebut tidak lain adalah Nabi Idris a.s. Jadi disni dapat disimpulkan bahwa hermeneutika adalah ilmu dan seni menginterpretasikan (the art of interpretation) suatu teks/kitab suci. Sedangkan dalam perspektif filosofis, hermeneutika merupakan aliran filsafat yang mempelajari hakikat hal mengerti atau memahami sesuatu. Sesuatu yang dimaksud disini dapat berupa teks, naskah-naskah kuno, peristiwa, pemikiran dan kitab suci, yang kesemua hal ini adalah merupakan objek penafsiran hermeneutika.

Dibawah ini,ada beberapa penjelasan mengenai hermeneutika:

1. Hermeneutika hukum adalah ajaran filsafat mengenai hal mengerti /memahami sesuatu, atau sebuah metode interpretasi terhadap teks dimana metode dan teknik menafsirkannya dilakukan secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi. Teks tersebut bisa berupa teks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, naskah kuno atau kitab suci.

2. Filsafat hermeneutika adalah filsafat tentang hakikat hal mengerti atau memahami sesuatu, yakni refleksi kefilsafatan yang menganalisis syarat-syarat kemungkinan bagi semua pengalaman dan pergaulan manusiawi dengan kenyataan, termasuk peristiwa mengerti dan/atau interpretasi. Pada peristiwa memahami atau menginterpretasi sesuatu, subyek (interpretator) tidak dapat memulai upayanya dengan mendekati obyek pemahamannya sebagai tabula rasa (tidak bertolak dari titik nol). Sebab setiap orang terlahir kedalam suatu dunia produk sejarah yang selalu menjalani proses menyejarah terus menerus, yakni tradisi yang bermuatan nilai-nilai, wawasan-wawasan, pengertian-pengertian, asas-asas, arti-arti, kaidah-kaidah, pola-pola perilaku dan sebagainya, yang terbentuk dan berkembang oleh dan dalam perjalanan sejarah.

3. Interpretasi teks yuridik berlangsung dalam proses lingkaran pemahaman yang disebut lingkaran hermeneutik (hermeneutische zirkel), yakni gerakan bolak-balik antara bagian atau unsur-unsur dan keseluruhan sehingga terbentuk pemahaman yang utuh. Dalam proses pemahaman ini, tiap bagian hanya dapat dipahami secara tepat dalam konteks keseluruhan, sebaliknya keseluruhan ini hanya dapat dipahami berdasarkan pemahaman atas bagian-bagian yang mewujudkannya. Dengan demikian, pada setiap interpretasi teks yuridik berlangsung pertemuan antara dua cakrawala pandang, yakni cakrawala dari interpretandum (teks yuridik) dan cakrawala dari interpretator. Perpaduan cakrawala tersebut dapat menghasilkan pemahaman baru pada interpretator tentang kaidah hukum yang terkandung dalam teks yuridik itu.

4. Sebagai sebuah metode penemuan makna teks, hermeneutika harus selalu memperhatikan tiga komponen pokok, yaitu teks, konteks, kemudian upaya kontekstualisasi.

5. Hermeneutika hukum penting digunakan oleh para hakim pada saat menemukan hukum. Penemuan hukum oleh Hakim tidak semata-mata hanya penerapan peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit, tetapi sekaligus penciptaan hukum dan pembentukan hukumnya. Menurut Gadamer, metode hermeneutika hukum pada hakikatnya sangat berguna, ketika seorang hakim menganggap dirinya berhak untuk menambah makna orisinal dari teks hukum. Oleh karena itulah hermeneutika hukum berfungsi sebagai metode untuk interpretasi atas teks hukum/peraturan perundangan yang dijadikan dasar pertimbangannya serta interpretasi atas peristiwa dan fakta akan sangat membantu Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara dipengadilan.

Senin, 31 Mei 2010

hukum represif,otonom,dan responsif


01 June at 09:00
Hukum Responsif, Hukum Otonom dan Hukum Refrensif
Menurut Philippe Nonet dan Philippe Selznick

1. Hukum Refrensif
Hukum Represif adalah hukum yang mengabdi kepada kekuasaan represif dan kepada tata tertib sosial yang represif. Kekuasaan yang memerintah adalah represif, bilamana ia kurang memperhatikan kepentingan-kepentingan rakyat yang diperintahkan artinya bilamana ia cenderung untuk tidak mempedulikan kepentingan-kepentingan tersebut atau menolak legitimasinya. Meskipun represi sering kali berbentuk penindasan dan pemaksaan yang terang-terangan, pemaksaan sendiri bukanlah merupakan ciri yang menentukan bagi sifat represif, melainkan diacuhkannya atau diterlantarkannya kepentingan rakyat. Mengenai perbedaan antara represi dengan pemaksaan: pertama, tidak semua pemaksaan adalah represif. Kedua, represi tidak perlu memaksa.
Perhatian paling utama hukum represif adalah dengan dipeliharanya atau diterapkannya tata tertib, ketenangan umum, pertahanan otoritas dan penyelesaian pertikaian. Meskipun hukum represif dihubungkan dengan kekuasaan, namun ia tidak boleh dilihat sebagai suatu tanda dari kekuatan kekuasaan (dari kekuasaan yang kuat).
Nonet dan Selznick menyebutkan beberapa bentuk dalam mana represi dapat memanifestasikan dirinya. Yang satu adalah ketidak mampuan pemerintah untuk memenuhi tuntutan-tuntutan umum. Yang lain adalah pemerintah yang melampaui batas. Suatu bentuk lain lagi adalah kebijakan umum yang berat sebelah, yang sering kali dipercontohkan pembaruan kota-kota dan kebijakan pengembangan ekonomi dalam mana “program pemerintah tidak mempunyai sarana untuk memenuhi, ataupun memperhatikan, lingkup kepentingan individual dan kelompok yang dipengaruhinya.

Ciri-ciri umum dari hukum represif:

1. Institusi-institusi hukum langsung terbuka bagi kekuasaan politik; hukum diidentifikasikan dengan negara dan tunduk kepada raison d e’tat.
2. Perspektif resmi mendomonasi segalanya. Penguasa cenderung untuk mengidentifikasikan kepentingannya dengan kepentingan masyarakat.
3. Kesempatan bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan dimana mereka dapat memperoleh perlindungan dan jawaban atas keluhan-keluhannya apabila keadilan semacam itu memang ada adalah terbatas.
4. Badan-badan pengawas khusus seperti polisi misalnya menjadi pusat kekuasaan yang bebas.
5. Suatu rezim hukum rangkap melembagakan keadilan keras dengan mengkonsolidasikan dan mengesahkan pola subordinasi sosial.
6. Hukum dan otoritas resmi dipergunakan untuk menegakkan konformitas kebudayaan.

2. Hukum Otonom
Hukum otonom berorientasi kepada mengawasi kekuasaan represif. Dalam arti ini hukum otonom merupakan antitese dari hukum represif dalam cara yang sama seperti “kekuasaan oleh hukum” yaitu hukum hanya sebagai suatu sarana untuk memerintah berhubungan dengan kekuasaan berdasar hukum. Hukum otonom memfokuskan perhatiannya pada kondisi sosial empiris dari kekuasaan berdasar hukum realitas-relitas institusional dalam mana cita-cita ini diejawantahkan, yaitu potensi-potensi khusus institusi-institusi ini untuk memberikan sumbangan kepada kepantasan dalam kehidupan sosial, tetapi juga limitasi-limitasinya.

Sifat-sifat paling penting dari hukum otonom adalah:
* penekanan kepada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi dan swasta
*terdapat pengadilan yang dapat didatangi secara bebas yang tidak dapat dimanipulasi oleh kekuasan politik dan ekonomi serta bebas daripadanya dan yang memiliki otoritas ekskluif untuk mengadili pelanggar hukum baik oleh para pejabat umum maupun oleh individu-individu swasta.
Sebuah prinsip penting dari hukum otonom adalah terpisahnya dari politik. Ahli-ahli hukum dan pengadilan adalah spesialis-spesialis dalam menafsirkan dan menetapkan hukum, namun isi substantif hukum tidak ditentukan oleh mereka, melainkan oleh hasil dari tradisi atau keputusan politik.

Hukum otonom menunjukkan tiga kelemahan khas yang sama sekali membatasi potensial hukum untuk memberi sumbangan kepada keadilan sosial:
*Perhatian yang terlalu besar terhadap aturan-aturan dan kepantasan prosedural mendorong suatu konsep yang sempit tentang peranan hukum. Mematuhi aturan-aturan dengan ketat dilihat sebagai suatu tujuan tersendiri dan hukum menjadi terlepas dari tujuan.
Hasilnya adalah legalisme dan formalisme birokrasi.
*Keadilan prosedural dapat menjadi pengganti keadilan substantif.
*Penekanan atas kepatuhan terhadap hukum akan melahirkan pandangan tentang hukum sebagai suatu sarana kontrol sosial, ia mengembangkan suatu mentalitas hukum dan tata tertib diantara rakyat dan ia mendorong ahli-ahli hukum untuk mengadopsi suatu sikap yang konservatif.
Kelemahan-kelemahan ini akan menghambat realisasi kekuasaan secara benar berdasarkan hukum yang dicita-citakan. Namun demikian, hukum otonom mengandung suatu potensi untuk perkembangan lebih lanjut dengan mana kelemahan-kelemahan ini akan dapat diatasi.

3. Hukum Responsif

Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Sifat responsif mengandung arti suatu komitmen kepada “hukum di dalam perspektif konsumen”.

Nonet dan Selznick menunjuk kepada dilema yang pelik di dalam institusi-institusi antara integritas dan keterbukaan. Integritas berarti bahwa suatu institusi dalam melayani kebutuhan-kebutuhan sosial tetap terikat kepada prosedur-prosedur dan cara-cara bekerja yang membedakannya dari institusi-institusi lain. Keterbukaan yang sempurna akan berarti bahwa bahasa institusional menjadi sama dengan bahasa yang dipakai dalam masyarakat pada umumnya, akan tetapi akan tidak lagi mengandung arti khusus, dan aksi-aksi institusional akan disesuaikan sepenuhnya dengan kekuatan-kekuatan di dalam lingkungan sosial, namun akan tidak lagi merupakan satu sumbangan yang khusus kepada masalah-masalah sosial. Konsep hukum responsif melihat suatu pemecahan untuk dilema ini yang mencoba untuk mengkombinasikan keterbukaan dengan integritas.

Jawaban dari hukum responsif adalah adaptasi selektif ke dalam tuntutan-tuntutan dan tekanan-tekanan baru. Apakah yang menjadi kriteria seleksinya? Tidak lain daripada kekuasaan berdasar hukum yang dicita-citakan, tetapi sekarang tidak lagi diartikan sebagai kepantasan prosedural formal, melainkan sebagai reduksi secara progresif dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam kehidupan politik, sosial dan ekonomi.
Jadi hukum responsif tidak membuang ide tentang keadilan, melainkan ia memeperluasnya untuk mencakup keadilan substantif.
Dua ciri yang menonjol dari konsep hukum responsif adalah (a) pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan; (b) pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.
Hukum responsif membedakan dirinya dari hukum otonom di dalam penekanan pada peranan tujuan di dalam hukum. Nonet dan Selznick bicara tentang kedaulatan tujuan. Pembuatan hukum dan penerapan hukum tidak lagi merupakan tujuan sendiri melainkan arti pentingnya merupakan akibat dari tujuan-tujuan sosial yang lebih besar yang dilayaninya. Hukum yang purposif adalah berorientasi kepada hasil dan dengan demikian membelok dengan tajam dari gambaran tentang keadilan yang terikat kepada konsekwensi. Menurut Nonet dan Selznick, penerimaan maksud memerlukan penyatuan otoritas hukum dan kemauan politik. Jika maksud menunjuk kepada fungsi dari pemerintah, maka kerakyatan menunjuk kepada peranan yang sangat menentukan dari partisispasi rakyat dalam hukum dan pemerintahan serta nilai terakhir yang dipertaruhkan, yaitu tercapainya suatu komunitas politik yang berbudaya yang tidak menolak masalah-masalah kemanusiaan dan dalam mana ada tempat bagi semua. Norma kerakyatan dapat diartikan sebagai pernyataan hukum dari suatu etika yang menghormati manusia sebagai nilai yang paling tinggi bagi kehidupan politik dalam dunia modern.
Norma kerakyatan,
*pertama: membedakan hukum responsif dari hukum represif dengan memaksakan adanya penampungan bagi kepentingan-kepentingan manusiawi dari mereka yang diperintah.
*Kedua, ia membedakan hukum responsif dari hukum otonom dengan memperlunak tuntutan tentang kepatuhan kepada aturan-aturan dan mengikuti saluran-saluran prosedural yang telah ditetapkan dan dengan sikapnya yang lebih menyukai pendekatan integrasi kepada problem-problem penyelewengan, ketidak patuhan dan konflik.
*Ketiga, norma kerakyatan menuntut cara-cara partisipasi dalam pembuatan keputusan.

Kamis, 20 Mei 2010

pluralisme hukum


PLURALISME HUKUM


Dalam KBBI(Kamus Besar Bahasa Indonesia) “pluralisme” berasal dari kata “plural” yang artinya jamak;lebih dari satu. Sedangkan beberapa kata yang terkait dengan hal itu adalah :
Pluralis : jumlah yang menunjukkan lebih dari satu,atau lebih dr dua dl bahan yang mempunyai dualis.
Pluralistis : banyak macam; bersifat majemuk.
Sedangkan dalam KBBI pengertian dari pluralisme adalah :Keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sisitem sosial dan politiknya
Pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai situasi dimana terdapat dua atau lebih sistem hukum yang berada dalam suatu kehidupan sosial. Pluralisme hukum harus diakui sebagai sebuah realitas masyarakat.

Pluralisme Hukum di Indonesia


Diakui prof. Erman, pluralitas sendiri merupakan ciri khas Indonesia. Dengan banyak pulau, suku, bahasa, dan budaya, Indonesia ingin membangun bangsa yang stabil dan modern dengan ikatan nasional yang kuat. Sehingga, menurutnya menghindari pluralisme sama saja dengan menghindari kenyataan yang berbeda mengenai cara pandang dan keyakinan yang hidup di masyarakat Indonesia.
Menurut Prof. Erman, kondisi pluralisme hukum yang ada di Indonesia menyebabkan banyak permasalahan ketika hukum dalam kelompok masyarakat diterapkan dalam transaksi tertentu atau saat terjadi konflik, sehingga ada kebingungan hukum yang manakah yang berlaku untuk individu tertentu dan bagaimana seseorang dapat menentukan hukum mana yang berlaku padanya. The Commission on Folk Law and Legal Pluralism Prof. Anne Griffith menjelaskan bahwa saat ini kita hidup tidak dengan satu hukum tetapi dengan berbagai hukum sehingga pemahaman mengenai pluralisme hukum perlu diberikan kepada pengambil kebijakan, ahli hukum, antopolog, sosiolog dan ilmuwan sosial lainnya.
Pengertian pluralisme hukum sendiri senantiasa mengalami perkembangan dari masa ke masa di mana ada koeksistensi dan interelasi berbagai hukum seperti hukum adat, negara, agama dan sebagainya. Bahkan dengan dengan adanya globalisasi, menurut Sulis hubungan tersebut menjadi semakin komplek karena terkait pula dengan perkembangan hukum internasional.
Terkait perkembangan hukum dalam era globalisasi. hukum negara menjadi semakin tidak mempunyai kekuatan. “Hukum negara harus mengakomodasi akibat dari perubahan dalam globalisasi Terkait pluralisme hukum yang ada Indonesia, Erman menyatakan bahwa kendala terberat adalah dalam mewujudkan kepastian hukum. Hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor politik. Bahkan pemberantasan korupsi sampai saat ini pun oleh Prof. Erman diakui sangat sulit karena dalam penegakannya banyak mempertimbangkan faktor politik.

Senin, 10 Mei 2010

studi hukum kritis


tanggal : 10 Mei 2010
Materi :Studi Hukum Kritis(Critical Legal Studies)

Penjelasan:
Pada abad ke-19,orang-orang mempelajari law in book yang sifatnya normatif,jadi hukum
adalah norma buatan negara yang di design.

Latar belakang Studi Hukum Kritis

Dalam gerakan studi hukum kritis (Critical legal Mauvment) adalah
merupakan suatu perkembangan baru dalam teori hukum, gerakan ini mulai
terlihat pada tahun 1976 sewaktu lahirnya konsep hak Asasi manusia dalam
paham liberal, yang bersamaan lahirnya pernyataan deklarasi kemerdekaan
dari 13 Negara Amerika Serikat dalam bulan juli 1976.

Pada tahap pemikiran ini sudah pernah diadakan pertemuan dengan
menyangkut Declaration des dreit de home et du Citoyen” yaitu pada tahun
1789 di Perancis, ini sebagi lanjutan dari pertemuan di Madisen, Wiscousin
Amerika 1977 dengan nama adalah “ Confrence on Critical legal Studies “(Ifdleal Kasim) 1999 : 10). Dimana pada saat itu mereka –mereka itu
berkumpul dan terlibat hak-hak cipil serta berkampanye anti perang Vietnam,
anti kekerasan, anti penindasan hak-hak Asasi manusia dan ketakutan(frecdom from fear). Pada sarjana mengeluarkan kritik akibat adanya
pelanggaran hak-hak asasi oleh pemerintah liberal bagi warga negara disuatu
negara tersebut.

Dalam perjuangan ini dua tekat yang terkemuka yaitu Duncan Kenedy
dan Karl Klere yang telah memberikan sumbangan terhadap kajian-kajian
kritis hukum, selain itu munculnya perdamaian di Eropah yang disebut “West
Phalia” akan memulai zaman baru sekitar (1500-1789) yang bertepatan
terjadi perang pena, antara lain Maciavelli, Jean Badin, Thomar Hobbes
pendukung sistem abselutisme, sedangkan Jaka Lock dan Mentesquicau
mendukung gerakan hukum (hukum kristis).

Perjuangan ini mendapat tantangan dari pemikir tradisianal terhadap
hukum, namun kecaman yang dilontarkan tidak mampu merubah
pelaksanaannya, justru sebaliknya, adanya organisasi yang dikembangkan
oleh ahli-wahli hukum yang semakin kuat dalam mempertahankan posisinya
didalam studi hukum, hal ini diaku sebagai suatu wadah atau organisasi
(Organization School) di Amerika Sertikat.

Gerakan studi hukum kritis kerusakan menekan krisis dengan mencari
solusi terhadap atau teori hukum liberal yang pada masa itu menduduki posisi
yang terkuat, gerakan ini melanjutkan pengkajian emperis terhadap hukum,
namun memberikan perbedaan terhadap pendahulunya yaitu pada
pendekatan (approach). Pendukung gerakan hukum kritis ini lebih memacu
pada paradigma sosial, asas-asas yang dikenalkan dalam tradisi hukum
liberal, secara radikal menuntut doktrin atau asas-asas netralitas hukum,
otonomi hukum dan pemisahan hukum dengan politik.

Menurut Roberto Mangakeira Unger, yang dalam hukumnya “ The
Critical legal Studies Meuvment” dengan keras menentang tradisi hukum
liberal itu, dan bagi Unger apa yagn ditawarkan itu oleh hukum klasik tidak
lebih sebuah utopia, kritik yang untuk menentang formalisme dan
objektivisme, ini adalah merupakan pemikiran setiap cabang doktrin harus di
gandarkan pada suatu prinsip diam-diam, jika tidak dilakukan secara terang
terangan, pada suatu pemberian interaksi bahwa manusia yang riil dan
realistis dihidung kehidupan realistik, dimana masyarakat sebagai tempat
doktrin itu berlaku, oleh karena itu Unger mengusulkan diadakan peninjauan
ulang terhadap teori-teori sosial utama, yang telah menawarkan adanya
perubahan linier masyarakat meliputi kebebasan manusia untuk berbicara.

Menurut Roberto Unger dalam teori masyarakat pasca liberal,terjadi pergeseran
prinsip bernegara.Penyebab pergeseran prinsip ini adalah kekecewaan terhadap pemikiran kaum kanan dan kiri.Hukum disini memainkan peran yang berbeda karena:
-jumlah peraturan dan praktisi makin banyak
-dalam pasca-liberal,negara justru makin intervensionis
-hakim menerapkan standar terbuka dalam memberi makna,jadi lembaga peradilan mulai menyerupai lembaga administrasi/politik

Dasar pemikiran CLS:
-hukum adalah produk politik
-itu berarti aturan hukum=aturan polotik
-tidak ada rule of law,yang ada the political rules

CLS sangat menentang 2 tradisi potivisme hukum yaitu rule of law dan legal reasoning.

Kritik filsafati dari CLS:
dalam kritik terhadap hak,menurut CLS,hak yang diberikan kaum liberalis hanya menguntungkan kelas tertentu sebab pertentangan hak selama ini harus diselesaikan oleh negara,padahal masyarakat sendiri mampu menyelesaikan dengan caranya sendiri.
Kritik terhadap pendidikan hukum,menurut CLS pendidikan hukum oleh kaum liberal hanya sebagai pelatihan idiologi demi kepentingan pemerintah dan dunia usaha.

KESIMPULAN:
menurut CLS,hukum adalah produk politik,jadi aturan hukum sama dengan aturan politik dan politik terkait dengan kekuasaan.Jadi dapat dimaknai bahwa aturan hukum itu sama dengan aturan dari siapa yang berkuasa saat itu.
Cls sangat menentang 2 tradisi positivisme hukum,yaitu rule of law,rule of law tidak mungkin dilaksanakan karena didalam masyarakat terdapat hierarki kekuasaan sehingga tidak menjamin kebebasan individual dan sangat menentang legal reasoning,
menurut CLS penalaran hukum tidak dapat dipakai mentah-mentah karena harus didasarkan pada keadaan dan situasi.

Rabu, 21 April 2010

tatanan sosial dan pengendalian sosial


Topik Perkuliahan: Tatanan Sosial dan Pengendalian Sosial

Kita hidup dalam suatu lingkungan sosial yang bukan apa adanya. Lingkungan sosial tersebut mempunyai sejumlah prasyarat yang menjadikannya dapat terus berjalan dan bertahan. Coba Anda identifikasi prasyarat apa saja yang ada pada lingkungan sosial Anda? Prasyarat-prasyarat inilah yang kita sebut tatanan sosial (sosial order).

Suatu lingkungan sosial di mana individu-individunya saling berinteraksi atas dasar status dan peranan sosial yang diatur oleh seperangkat norma dan nilai diistilahkan dengan tatanan sosial. Pada saat kita berbicara tentang tatanan sosial, ada beberapa konsep penting yang perlu didiskusikan yaitu tentang: struktur sosial, status sosial, peranan sosial, institusi sosial, serta masyarakat.

Struktur Sosial

Struktur sosial adalah salah satu elemen tatanan sosial. Struktur sosial adalah tatanan atau susunan sosial yang membentuk kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Susunannya bisa vertikal atau horizontal. Terdapat beberapa definisi tentang struktur sosial, yang dirumuskan oleh para ahli, antara lain:

· George Simmel: struktur sosial adalah kumpulan individu serta pola perilakunya.

· George C. Homans: struktur sosial merupakan hal yang memiliki hubungan erat dengan perilaku sosial dasar dalam kehidupan sehari-hari.

· William Kornblum: struktur sosial adalah susunan yang dapat terjadi karena adanya pengulangan pola perilaku undividu.

· Soerjono Soekanto: struktur sosial adalah hubungan timbal balik antara posisi-posisi dan peranan-peranan sosial.

· Erich Goode (1988): struktur sosial sebagai jaringan yang saling berhubungan, yang secara normative mengarahkan hubungan sosial yang ada di masyarakat

Status Sosial

Sehubungan dengan struktur sosial dikenal istilah status. Secara umum status dipahami sebagai urutan orang berdasarkan kekayaannya, pengaruhnya, maupun prestisenya. Akan tetapi sosiolog mengartikan status sebagai posisi di dalam kelompok atau masyarakat. Artinya letak seseorang di antara orang yang lainnya dalam suatu struktur sosial. Contoh status adalah ibu, kyai, teman, tentara, orang kulit hitam, dan lain-lain. Sehubungan dengan status ini, dibedakan antara ascribed statuses (status yang diperoleh) dan achieved statuses (status yang diraih). Di samping ascribed statuses dan achieved statuses, juga terdapat master statuses. Master statuses adalah kunci atau inti dari status yang mempunyai bobot utama dalam interaksi dan hubungan sosial seseorang dengan orang yang lainnya (Zanden, 1993).

Peranan Sosial

Selain konsep status sosial, di dalam struktur sosial terdapat juga konsep peranan sosial. Konsep peranan sosial mengacu pada pengertian tentang serangkaian hak dan tugas yang didefinisikan secara kultural. Sehingga dengan demikian perilaku individu dilihat sebagai sesuatu yang penting atau tidak penting dalam hubungannya dengan status. Secara sederhana dapat dikatakan perbedaan antara status dan peran adalah bahwa kita memiliki status dan kita memerankan peran sosial. Peranan adalah perilaku yang diharapkan sehubungan dengan status yang dimiliki. Role performance adalah perilaku aktual seseorang sehubungan dengan statusnya. Dalam kehidupan nyata sering kali terjadi gap antara apa yang seseorang seharusnya lakukan dengan apa yang seseorang lakukan. Satu status tertentu mungkin mempunyai aneka ragam peranan yang harus dimainkan. Hal inilah yang disebut dengan role set. Contohnya Anda sebagai kepala keluarga tidak hanya berperan sebagai pemimpin bagi anggota keluarga Anda, melainkan juga berperan sebagai pencari nafkah, wakil keluarga Anda dalam kegiatan-kegiatan sosial di kampung, dan lain-lain.

Institusi Sosial

Elemen yang lain dari struktur sosial adalah institusi sosial. Institusi sosial berkaitan erat dengan upaya individu untuk memenuhi kebutuhannya, di mana untuk itu individu berusaha membentuk dan mengembangkan serangkaian hubungan sosial dengan individu lainnya. Serangkaian hubungan sosial tersebut terlaksana menurut pola-pola tertentu. Pola resmi dari suatu hubungan sosial ini terjadi di dalam suatu sistem yang disebut dengan sistem institusi sosial. Istilah institusi sudah lama digunakan dalam kajian sosiologi. Istilah institusi sosial berasal dari bahasa Inggris institution. Sehubungan dengan pengertian institusi sosial ini, beberapa ahli telah berusaha mendefinisikannya, salah satunya definisi dari Judson R. Landis (1986: 255) yang mendefinisikan institusi sosial sebagai norma-norma, aturan-aturan, dan pola-pola organisasi yang dikembangkan di sekitar kebutuhan-kebutuhan atau masalah-masalah pokok yang terkait dengan pengalaman masyarakat. Dari definisi ini maka bisa kita pahami bahwa institusi sosial merujuk pada upaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan atau untuk mengatasi masalah. Para sosiolog telah berusaha membuat penggolongan institusi sosial yang ada di masyarakat atas dasar fungsi dari institusi sosial tersebut. Apa saja jenis-jenis institusi sosial, telah saya rangkumkan sebagaimana berikut ini.

Institusi Sosial

Fungsinya

Contohnya

Kinship/domestic

institutions

1. mengatur perilaku seksual

2. memelihara kelangsungan

keturunan melalui kelahiran

3. merawat dan melindungi anak

4. menyosialisasikan anak

5. mengatur penempatan status, sebagai penerusan warisan

sosial

6. mencukupi kebutuhan

ekonomi sebagai unit pokok produksi dan konsumsi

perkawinan, tolong

menolong antar kerabat,

pengasuhan kanak-

kanak, sopan santun

pergaulan antar kerabat,

sistem istilah

kekerabatan, dan lain-lain

Economic institutions

1. produksi barang dan jasa

2. distribusi barang danjasa serta

Pendistribusian sumber daya ekonomi (tenaga dan peralatan)

3. konsumsi barang dan jasa

pertanian, peternakan,

pemburuan, industri,

barter, koperasi

penjualan,

penggudangan,

perbankan, dan

sebagainya

Educational institutions

1. memberikan persiapan

bagi peranan-peranan

pekerjaan

2. bertindak sebagai perantara pemindahan

warisan kebudayaan

3. memperkenalkan kepada individu- individu tentang berbagai peranan

dalam masyarakat

4. mempersiapkan para individu dengan berbagai peranan sosial yang dikehendaki

5. memberi landasan bagi

penelitian dan pemahaman status relatif

6. memperkuat penyesuaian diri dan mengembangkan

hubungan sosial

pengasuhan kanak-

kanak, pendidikan rakyat,

pendidikan menengah,

pendidikan tinggi,

pemberantasan buta

huruf, pers, perpustakaan

dan lain-lain

scientific institutions

1. meningkatkan kemampuan melalui pengikutsertaan dalam

riset-riset ilmiah

metodologi ilmiah,

penelitian, pendidikan

ilmiah, dan sebagainya

aestethic/recreational institutions

1. memenuhi keperluan

manusia untuk

penghayatan rasa

keindahan

2. memenuhi keperluan

untuk rekreasi

seni rupa, seni suara, seni

gerak, seni drama,

kesusasteraan, olah raga,

dan sebagainya

Somatic institutions

1. memenuhi keperluan

fisik dan kenyamanan

pemeliharaan kecantikan,

pemeliharaan kesehatan,

kedokteran, dan lain-lain

religious institutions

1. bantuan terhadap

pencarian identitas moral

2. memberikan

penafsiran-penafsiran

untuk membantu

menjelaskan keadaan

lingkungan fisik dan

sosial seseorang

3. peningkatan kadar

keramahan bergaul,

kohesi sosial, dan

solidaritas kelompok

doa, kenduri, upacara

ritual, meditasi, bertapa,

penyiaran agama,

pantangan, ilmu gaib, ilmu

dukun, dan sebagainya

political institutions

1. memenuhi kebutuhan

manusia untuk

mengatur dan

mengelola

keseimbangan

kekuasaan

2. pelembagaan norma

melalui undang-

undang yang

disampaikan oleh

badan-badan

legislative

3. melaksanakan undang-

undang yang telah disetujui,

4. penyelesaian konflik

yang terjadi di antara

anggota masyarakat

5. melindungi warga

negara dari serangan

bangsa-bangsa lain

dan pemeliharaan

kesiapsiagaan

menghadapi bahaya

pemerintahan, demokrasi,

kehakiman, kepartaian,

kepolisian, ketentaraan,

dan sebagainya

Penggolongan institusi sosial sebagaimana yang terdapat dalam Tabel 1 memang belum mewakili semua institusi sosial yang ada di masyarakat. Kejahatan, pelacuran, korupsi juga merupakan institusi sosial. Selain itu suatu aspek bisa saja masuk ke dalam dua atau lebih golongan institusi sosial, misalnya pengasuhan kanak-kanak bisa masuk ke dalam kinship/domestic institutions dan educational institutions. Di samping itu juga bisa terjadi pengalihan fungsi dari institusi social yang satu pada institusi sosial lainnya. Pengalihan fungsi ini terjadi apabila institusi sosial tersebut tidak lagi berhasil memenuhi kebutuhan yang harus diberikan, dan dua atau lebih institusi sosial mampu memenuhi suatu kebutuhan tertentu, tetapi tetap ada salah satu di antara institusi-institusi sosial tersebut yang mempunyai kemampuan paling tinggi. (Zanden, 1993)

Masyarakat

Salah satu bentuk dari tatanan sosial adalah masyarakat. Kita tahu bahwa sebagai makhluk sosial kita hidup di dalam masyarakat. Sebagai individu kita tidak bisa melepaskan diri kita dari ketergabungan kita ke dalam masyarakat. Dengan bergabung di dalam masyarakat, artinya dengan mengembangkan hubungan sosial dengan individu lainnya, maka aspek kemanusiaan kita menemukan bentuknya. Sebagai makhluk sosial, manusia adalah jenis makhluk hidup yang hidup dalam kolektivitas. Terdapat berbagai macam bentuk kolektivitas, tetapi yang umum dikenal adalah apa yang disebut dengan masyarakat. Istilah masyarakat dalam bahasa Inggris di sebut society, dalam bahasa latin diistilahkan dengan socius yang artinya berkawan, dan dari bahasa Arab disebut syaraka yang artinya ikut serta berpartisipasi. Berdasarkan arti katanya, masyarakat memang merupakan sekumpulan individu-individu yang saling mengembangkan hubungan sosial (saling berinteraksi). Akan tetapi perlu dimengerti bahwa tidak semua kesatuan individu yang saling berinteraksi merupakan masyarakat. Salah seorang sosiolog yang membuat definisi dari konsep masyarakat ini adalah Talcot Parson (Sunarto, 2000: 56), yang mengartikan masyarakat sebagai sistem sosial yang swasembada (self- subsistent), melebihi masa hidup individu normal dan merekrut anggota secara reproduksi biologis serta melakukan sosialisasi terhadap generasi berikutnya (mengenai definisi masyarakat dari Talcott Parson ini ada beberapa kesamaan dengan karakteristik masyarakat sebagaimana yang dikemukakan oleh Marion Levy). Masyarakat sendiri merupakan suatu jenis sistem sosial yang lebih besar daripada institusi. Masyarakat ini merupakan bangunan dari struktur social yang di dalamnya terdapat status, peranan dan institusi. Masyarakat juga berbeda dengan komunitas. Komunitas sendiri diartikan sebagai “suatu kesatuan hidup manusia, yang menempati suatu wilayah yang nyata, dan yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat, serta yang terikat oleh suatu rasa identitas komunitas”.

Arti Definisi / Pengertian Pengendalian Sosial

Pengendalian sosial adalah merupakan suatu mekanisme untuk mencegah penyimpangan sosial serta mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk berperilaku dan bersikap sesuai norma dan nilai yang berlaku. Dengan adanya pengendalian sosial yang baik diharapkan mampu meluruskan anggota masyarakat yang berperilaku menyimpang / membangkang. Secara rinci, beberapa faktor yang menyebabkan warga masyarakat berperilaku menyimpang dari norma-norma yang berlaku adalah sebagai berikut ( Soekanto, 181:45)
1. Karena kaidah-kaidah yang ada tidak memuaskan bagi pihak tertentu atau karena tidah memenuhi kebutuhan dasarnya.
2. Karena kaidah yang ada kurang jelas perumusannya sehingga menimbulkan aneka penafsiran dan penerapan.
3. Karena di dalam masyarakat terjadi konflik antara peranan-peranan yang dipegang warga masyarakat, dan
4. Karena memang tidak mungkin untuk mengatur semua kepentingan warga masyarakat secara merata.

Fungsi Pengendalian Sosial
Koentjaraningrat menyebut sekurang-kurangnya lima macam fungsi pengendalian sosial, yaitu :
a. Mempertebal keyakinan masyarakat tentang kebaikan norma.
b. Memberikan imbalan kepada warga yang menaati norma.
c. Mengembangkan rasa malu
d. Mengembangkan rasa takut
e. Menciptakan sistem hokum